Kamis, 17 Juli 2014

NILAI PROSES PEMBANGUNAN RUMAH ADAT DALAM PERSPEKTIF MELESTARIKAN KEBUDAYAAN NIAS


Oleh: Kurniawan Harefa, SS
Tulisan Ini Telah Diterbitkan dan Hak Cipta oleh Nias Bangkit.COM. 
Baca Publikasi melalui Nias Bangkit.COM disini
Bangsawan Nias masa lalu dengan latar rumah adat (Onbekend:1900)
Rumah adat Nias atau yang dikenal dalam bahasa Nias sebagai Omo Niha atau Omo Hada adalah salah satu situs kebudayaan Nias, yang memiliki ciri khas atau karakteristik yang menjadi identitas dan kebanggan masyarakat Nias, dan bangsa Indonesia pada umumnyas. Keberadaan rumah adat Nias di seluruh wilayah Kepulauan Nias saat ini sebanyak 1.112 buah (ILO:2010).
Secara garis besar, berdasarkan bentuk dasar, rumah adat Nias terdiri dari dua tipe besar, yakni rumah adat Nias dengan bentuk dasar persegi, dan rumah adat Nias dengan bentuk dasar oval. Dari setiap kedua tipe besar rumah adat berdasarkan bentuk dasar di atas, juga terdapat beragam variasi arsitektur dan ukuran.
Walaupun rumah adat Nias terdiri dari beberapa tipe besar, variasi dan ukuran yang berbeda pada setiap tipe, namun perbedaan tersebut merefleksikan adanya sebuah proses perkembangan ataupun penyempurnaan dalam sejarah dibangunnya rumah adat Nias, dan penyempurnaan tersebut tidak meninggalkan ciri khas mendasarnya, antara lain semua bahan rumah adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu, tidak dipaku dengan besi, tiang penyangga (gehomo) tidak ditanam di tanah, tetapi diletakkan di atas batu, dan memiliki ketahanan yang kuat, serta mampu mengatasi gaya lateral yang ditimbulkan oleh gempa bumi.

Rumah Adat Nias dengan pintu akses dari bawah rumah (Sinoro Aro), milik Sarombowo Gea di Desa Onowaembo Kecamatan Gunungsitoli Idanoi (200 tahun), dalam keadaan rusak berat dan terancam punah. Rumah jenis Sinoro Aro tinggal 2 unit lagi di Kota Gunungsitoli.
Rumah adat Nias melambangkan kosmologi kehidupan, status sosial, dan adat istiadat, serta berfungsi sebagai wadah membangun hubungan sosial serta memuat karya seni. Pada kesempatan ini, penulis tidak akan membahas teknik arsitekur dari berbagai macam rumah adat Nias yang kaya akan keragaman, melainkan nilai-nilai kebudayaan yang terkandung dalam rumah adat Nias dan terlebih lagi proses pembangunan rumah itu sendiri, yang mana nilai tersebut dapat menjadi kearifan lokal bagi masyarakat Nias.
Tipologi arsitektur rumah adat Nias didasari pada tatanan rasional alam semesta atau kosmologi. Rumah adat Nias dibangun dengan berdasarkan kepercayaan bahwa dunia ini terbagi atas tiga bagian besar (P. Johannes M. Hammerle, OFMCap : 1996), yaitu:
a.  Dunia atas, yaitu bagian atap (mbumbu nomo) melambangkan dunia tempat Sang Pencipta/ Penguasa yang disebut Lowalangi.
b.  Dunia manusia, yaitu bagian tengah/ tubuh rumah (mboto nomo), terdiri dari ruangan tempat penghuni rumah tinggal seperti ruang tamu dan kamar, melambangkan dunia tempat hidup manusia.
c.   Dunia bawah, yaitu bagian bawah rumah/ tapak dan tiang penyangga (arö mbatö) melambangkan dunia tempat hidup dewa perusak yaitu Laturedanö.
Proses Pembangunan
Proses mendirikan rumah adat dalam masyarakat Nias adalah salah satu peristiwa besar, karena melalui banyak tahap, melibatkan banyak orang, dan memakan biaya yang besar. Sejarah mendirikan rumah dalam masyarakat Nias pada mulanya tidaklah serta merta semegah rumah adat yang kita ketahui sekarang. Mendirikan rumah mengalami proses evolusi menuju penyempurnaan secara berangsur-angsur, hingga mengalami bentuk rumah adat Nias yang kompleks yang kita kenal pada masa sekarang sebagai Omo Niha.
Pendirian rumah adat Nias tidak lepas dari suatu kelompok masyarakat yang hidup bersama dalam satu tatanan yang disebut banua. Mendirikan rumah merupakan kebanggaan seluruh warga, sehingga upaya memajukan pembangunan rumah tersebut merupakan tanggungjawab warga banua.
Sebelum memulai pembangunan rumah, warga yang merencanakan pembangunan rumah memberitahukan kepada keluarga besar, pihak kerabat, pihak paman, kerabat lainnya, dan kepada organisasi adat/ kampung tempat warga ini bernaung melalui pemimpin banua (fangombakha ba dalifusö ba banua). Dalam acara untuk memberitahukan rencana pembangunan ini (orahua banua), warga yang merencanakan pembangunan rumah mengadakan jamuan makan, dengan menyembelih setidaknya satu ekor babi.
Setelah adanya pemberitahuan kepada keluarga dan warga, maka dengan dipimpin oleh pemimpin banua (salawa), diputuskanlah lokasi tempat bangunan dan seluruh warga untuk bergotong royong membersihkan lokasi yang ditetapkan (Famailo tanö naha nomo). Dalam acara ini warga yang hendak membangun rumah mengadakan jamuan makan dengan menyembelih setidaknya satu ekor babi. Setelah itu, lokasi pembangunan dipatok dengan tali untuk menetapkan letak dan jarak rumah dari titik tengah halaman (tödö ewali) dan kesesuaianya dengan rumah-rumah lain yang sudah kian ada. Pada kesempatan ini warga yang ingin membangun rumah memberikan kewajiban berupa emas kepada Salawa, dan melakukan jamuan makan dengan memotong setidaknya satu ekor babi.
Warga yang merencanakan pembangunan rumah memilih dan memanggil tukang atau ahli yang bekerja membangun rumah (tuka/ ere/ sonekhe ba wotomo). Walaupun ada tukang atau ahli bangunan yang fokus menangani pembangunan rumah, namun dalam hal pelaksanaan beberapa pekerjaan berat yang membutuhkan tenaga orang banyak, senantiasa tidak terlepas dari dukungan warga banua secara gotong royong mendukung pekerjaan pembangunan.
Mempersiapkan kayu untuk bahan pembangunan rumah, utamanya kayu yang akan digunakan sebagai tiang-tiang utama rumah (silalöyawa dan tarumbumbu) dilakukan pada hari yang baik menurut penanggalan suku Nias. Biasanya pada tanggal-tanggal menuju waktu bulan purnama (desa’a), yakni hari kedelapan sampai hari kesepuluh menuju bulan purnama. Penebangan kayu dilakukan dengan ritual penyembahan atau berdoa atau meminta izin kepada roh yang mendiami pohon (bela) dan kepada roh nenek moyang. Setelah berdoa, bangsawan yang memimpin ritual memotong satu ekor anak babi, dan menumpahkan darahnya disekitar pohon. Barulah ritual penebangan pohon ini secara simbolik dimulai oleh bangsawan yang memimpin ritual, disusul pihak mertua atau paman, pemilik rumah, dan perwakilan banua.
Setelah menebang pohon, seluruh rombongan yang bekerja makan bersama, dengan mengorbankan satu ekor babi. Kayu yang telah ditebang dibersihkan dan digotong bersama-sama ke lokasi pembangunan. Setiap membawa satu batang kayu tiang dari lokasi pengambilan kayu ke lokasi pembangunan rumah, disembelihlah setidaknya satu ekor babi sebagai persembahan kepada roh dan untuk menjamu makan bersama rombongan yang bekerja menggotong kayu..
Beberapa tahapan utama dalam proses pembangunan rumah selanjutnya antara lain mendirikan tiang-tiang penyangga, tiang utama, memasang tiang penyangga bubungan, mendirikan tangga, memasang kerangka atap, dan merapikan atap.  Setelah rumah selesai dibangun, dilaksanakan pesta besar (owasa) yang disebut ‘owasa famadögö omo’, yaitu menguji ketahanan rumah. Pesta ini dihadiri oleh segenap keluarga besar, dan warga kampung. Para tamu yang datang ke pesta melakukan tarian sambil mengoncang-goncangkan rumah untuk menguji kekuatan rumah yang baru selesai dibangun. Tarian tersebut diiringi dengan syair-syair tentang asal muasal kayu dan proses pembangunan rumah. Dalam pesta ini puluhan ekor babi disembelih diperuntukan untuk jamuan makan bersama, dan sebagai penghormatan (sumange) yang ditujukan kepada pemimpin kampung (salawa), warga kampung (banua), kerabat (talifusö), pihak paman (sibaya), mertua (sitenga bö’ö), kerabat perempuan (ono alawe), dan pihak-pihak lain yang dituakan dan dihormati oleh pemilik rumah.
Rahang babi (Simbi) dipajang di dalam Rumah Adat Nias. Semakin banyak rahang yang dipajang, menggambarkan banyak pesta yang telah dilaksanakan oleh pemilik rumah, menandakan kejayaan dan kebesaran masa lalu.
 Nilai
Dari pemaparan di atas dapat ditarik beberapa makna dan nilai yang tersirat dalam proses pembangunan rumah adat Nias, antara lain:
1. Tingginya kebanggaan, kerjasama, kerja keras dan kebersamaan seluruh warga dalam pembangunan rumah di kampungnya, sehingga semua merasa bertanggungjawab untuk memajukan proses pembangunan.
2. Dari jamuan-jamuan adat dan pemberian emas dalam proses pembangunan ini, menyiratkan nilai penghormatan kepada komunitas dan kerabat terlebih lagi orang-orangtua.
3. Ritual-ritual yang dilakukan sebelum melakukan tahapan demi tahapan pembangunan menyiratkan nilai-nilai spiritual/ religius.
4.   Penebangan kayu tidak sembarangan dilakukan, karena tingginya nilai untuk menghormati keseimbangan alam/ pelestarian alam.
Permasalahan dan Solusi
a.         Keterbatasan  bahan
Untuk membangun rumah adat Nias pada masa sekarang sangat mengalami kesukaran terutama ketersediaan bahan-bahan bangunan yang sebagian besar sudah mengalami kelangkaan bahkan kepunahan. Permasalahan kelangkaan bahan bangunan ini sudah seharusnya menjadi perhatian semua pihak untuk lebih melestarikan hutan dan menanam pohon khususnya jenis pohon kayu yang diperlukan untuk pembangunan rumah. 
b.        Memerlukan banyak babi dan emas
Setiap tahapan pendirian rumah adat hingga peresmian, tidak terlepas dari penyembelihan babi untuk menjamu banyak orang dan pemberian emas. Itulah sebabnya di masa lalu, tidak semua orang Nias mampu membangun rumah adat. Hanya para bangsawan dan masyarakat yang memiliki kekayaanlah yang dapat melakukannya. Biaya yang dikeluarkan untuk melalui tahapan kegiatan adat untuk mendirikan rumah adat, seringkali lebih besar dari biaya pendirian rumah adat itu sendiri.
Pemotongan babi dan pemberian emas sebaiknya tidak dihapuskan, bahkan perlu dipertahankan sebagai warisan budaya. Tetapi kuantitasnya yang dapat dikurangi. Mungkin hal ini tidak menyenangkan bagi sebagian orang, tapi perlu dipahami pula bahwa walaupun babi itu penting dalam adat orang Nias, tapi jauh yang lebih penting dari itu adalah nilai yang terkandung dalam pemberian babi itu sendiri yakni adanya sikap menghormati dan menghormati semua pihak yang berkepentingan.
c.         Keterpurukan ekonomi
Suatu fenomena bahwa para bangsawan yang dulu memiliki kekayaan hingga mampu membiayai setiap tahapan proses pembangunan rumah adat dan melakukan berbagai pesta adat, malah keturunannya pada saat sekarang terpuruk dalam kemiskinan. Pada zaman dulu nenek moyang mereka begitu gigih bekerja mengumpulkan kekayaan, dan menganggap penting investasi dan pendidikan. Kekayaan ini digunakan secara konsumtif untuk membiayai berbagai pesta adat baik dalam pendirian rumah adat, penabalan gelar kebangsawanan (fa’abalugusa), pesta pernikahan dan lain-lain.
Bukan hanya di kalangan keturunan para bangsawan, tetapi masyarakat Nias sudah seharusnya selain membangun kemapanan ekonomi, sudah saatnya berpikir untuk melakukan investasi, baik di bidang ekonomi maupun pendidikan, sehingga kesejahteraan dapat berkesinambungan di masa depan.
d.        Rendahnya kesadaran
Sebagian besar masyarakat pemilik rumah adat terpengaruh mengikuti trend membangun rumah modern yang banyak kita miliki pada saat sekarang. Rumah adat pun diruntuhkan karena dianggap sudah tidak relevan dengan zaman atau kuno, dan digantikan dengan rumah modern.
Pertikaian di antara ahli waris pemilik rumah adat juga menjadi masalah, yakni perebutan hak milik atas rumah adat dan tanah pertapakan rumah yang diwarisi oleh nenek moyang atau orangtua. Sebagian juga tidak adanya kesatuan tekad antara saudara bersaudara pewaris rumah adat tentang biaya pemeliharaan rumah warisan orangtua. Pada kasus ini, beberapa rumah adat diruntuhkan karena tidak tercapainya kesepakatan dan kebulatan pemikiran antar pewaris rumah adat.
Beberapa pemilik rumah adat yang masih eksis sampai pada saat ini, masih tetap mempertahankan kelestarian rumah adat warisan orangtua, meskipun dengan ekonomi pas-pasan. Menurut mereka hal ini karena di antara saudara-bersaudara pewaris rumah adat tetap memiliki rasa persatuan (fahasara dödö), tanggungjawab kesejarahan dan penghormatan terhadap leluhur, sebagian juga memiliki kesadaran penting adanya rumah adat dilestarikan sebagai warisan kebudayaan yang sangat bernilai tinggi.
e.         Kurangnya intervensi pemerintah
Intervensi pemerintah sebagai pihak dengan kekuatan yang lebih besar dari berbagai pihak yang berkepentingan, dituntut memiliki andil besar dalam merumuskan kebijakan pelestarian adat baik di tingkat nasional maupun daerah, yang diterjemahkan ke dalam program dan kegiatan pelestarian rumah adat dalam bentuk pemugaran, pemeliharaan rutin, dan bahkan bila memungkinkan pembangunan rumah adat dan perkampungan tradisional baru untuk merekonstruksi kembali kejayaan dan kebanggaan suku Nias di masa lalu.
Rumah Adat Nias dengan pintu masuk dari samping (sinoro hambo) milik Museum Pusaka Nias
Kesimpulan dan Saran
Kepulauan Nias sebagai daerah tujuan wisata, digerus oleh derasnya laju pembangunan dan perkembangan globalisasi, lekat dengan prototipe kemajemukan dalam berbagai aspek, dan rentan dengan dampak negatif modernisasi. Hal ini dapat menjadi ancaman rentannya kohesi sosial antar anggota masyarakat, memunculkan semangat kelompok dan individualisme. Semangat baru yang modern menggantikan nilai-nilai kearifan lokal seperti semangat kebersamaan, gotong royong, semangat solidaritas, sikap penghormatan dan penghargaan, kehidupan spiritual, kerja keras dan lain-lain nilai-nilai kebaikan sebagai kearifan lokal yang dapat kita temui dari sejarah kebudayaan masa lalu. Seharusnya nilai-nilai kearifan lokal ini patut dipertahankan menjadi kekuatan dan mendarah daging sebagai karakter masyarakat Nias dalam menghempang dampak negatif dari modernisasi dan globalisasi.
Kebijakan pemerintah di bidang pembangunan sosial kemasyarakat dan kebudayaan perlu senantiasa dikaji dan di evaluasi, seberapa efektifkah kebijakan tersebut dapat mempertahankan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Nias sehingga dapat berdampak positif pada pembangunan sosial kemasyarakatan di Kepulauan Nias. Pelestarian rumah adat Nias menjadi tanggungjawab bersama seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, non pemerintah dan masyarakat. Hal ini diharapkan dapat berkesinambungan, baik secara kuantitas dan kualitas, dan yang tidak kalah penting adalah hendaknya tidak hanya sebatas orientasi pembangunan fisik saja, tapi harus ada upaya berkesinambungan menggali dan merumuskan nilai-nilai yang terkandung dalam rumah adat Nias.
Dalam rangka mewujudkan upaya pelestarian kebudayaan Nias dalam hal ini rumah adat Nias, maka beberapa hal yang dapat dirumuskan sebagai saran antara lain sebagai berikut:
1.       Pelaksanaan program/ kegiatan pelestarian rumah adat Nias oleh pemerintah dan non pemerintah secara berkesinambungan dan secara bertahap menjangkau seluruh rumah adat yang ada di wilayah Kepulauan Nias, dengan peningkatan kualitas dan peningkatan alokasi anggaran.
2.     Perlu upaya pengkajian nilai-nilai kebudayaan yang merupakan keariflan lokal yang terkandung dalam rumah adat Nias, yang dapat diformulasikan sebagai rumusan pembangunan karakter dan sosial kemasyarakatan di Kepulauan Nias, dengan pelaksanaan seminar, penulisan buku, brosur, dan melalui metode-metode penyekbarluasan informasi lainnya.
3.      Perlu upaya pendekatan sosial oleh pemerintah dan berbagai stake holder kepada masyarakat pemilik rumah adat Nias, agar mempertahankan keberadaaan rumah adat yang masih eksis sampai sekarang.
4.    Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pariwisata Nomor 42 dan 40 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan, yang utamanya menekankan kewajiban pemerintah untuk melakukan upaya-upaya pelestarian kebudayaan daerah, maka perlu disusun rancangan peraturan daerah oleh setiap kabupaten/ kota di Kepulauan Nias tentang pelestarian kebudayaan daerah yang di dalamnya mengatur tentang pelestarian rumah adat Nias.

Tidak ada komentar: