Oleh: Kurniawan Harefa, SS
Tulisan Ini Telah Diterbitkan dan Hak Cipta oleh Nias Bangkit.COM.
Baca Publikasi melalui Nias Bangkit.COM disini
Tulisan Ini Telah Diterbitkan dan Hak Cipta oleh Nias Bangkit.COM.
Baca Publikasi melalui Nias Bangkit.COM disini
Bangsawan Nias masa lalu dengan latar rumah adat (Onbekend:1900) |
Secara
garis besar, berdasarkan bentuk dasar, rumah adat Nias terdiri dari dua tipe
besar, yakni rumah adat Nias dengan bentuk dasar persegi, dan rumah adat Nias dengan
bentuk dasar oval. Dari setiap kedua tipe besar rumah adat berdasarkan bentuk
dasar di atas, juga terdapat beragam variasi arsitektur dan ukuran.
Walaupun rumah adat Nias terdiri dari beberapa tipe besar, variasi dan ukuran yang berbeda pada setiap tipe, namun perbedaan tersebut merefleksikan adanya sebuah proses perkembangan ataupun penyempurnaan dalam sejarah dibangunnya rumah adat Nias, dan penyempurnaan tersebut tidak meninggalkan ciri khas mendasarnya, antara lain semua bahan rumah adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu, tidak dipaku dengan besi, tiang penyangga (gehomo) tidak ditanam di tanah, tetapi diletakkan di atas batu, dan memiliki ketahanan yang kuat, serta mampu mengatasi gaya lateral yang ditimbulkan oleh gempa bumi.
Walaupun rumah adat Nias terdiri dari beberapa tipe besar, variasi dan ukuran yang berbeda pada setiap tipe, namun perbedaan tersebut merefleksikan adanya sebuah proses perkembangan ataupun penyempurnaan dalam sejarah dibangunnya rumah adat Nias, dan penyempurnaan tersebut tidak meninggalkan ciri khas mendasarnya, antara lain semua bahan rumah adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu, tidak dipaku dengan besi, tiang penyangga (gehomo) tidak ditanam di tanah, tetapi diletakkan di atas batu, dan memiliki ketahanan yang kuat, serta mampu mengatasi gaya lateral yang ditimbulkan oleh gempa bumi.
Rumah adat Nias melambangkan kosmologi
kehidupan, status sosial, dan adat istiadat, serta berfungsi sebagai wadah
membangun hubungan sosial serta memuat karya seni. Pada kesempatan ini, penulis
tidak akan membahas teknik arsitekur dari berbagai macam rumah adat Nias yang
kaya akan keragaman, melainkan nilai-nilai kebudayaan yang terkandung dalam
rumah adat Nias dan terlebih lagi proses pembangunan rumah itu sendiri, yang mana
nilai tersebut dapat menjadi kearifan lokal bagi masyarakat Nias.
Tipologi arsitektur rumah adat Nias
didasari pada tatanan rasional alam semesta atau kosmologi. Rumah adat Nias
dibangun dengan berdasarkan kepercayaan bahwa dunia ini terbagi atas tiga
bagian besar (P. Johannes M. Hammerle, OFMCap : 1996), yaitu:
a. Dunia atas, yaitu bagian atap (mbumbu nomo) melambangkan dunia tempat
Sang Pencipta/ Penguasa yang disebut Lowalangi.
b. Dunia manusia, yaitu bagian tengah/
tubuh rumah (mboto nomo), terdiri
dari ruangan tempat penghuni rumah tinggal seperti ruang tamu dan kamar,
melambangkan dunia tempat hidup manusia.
c. Dunia bawah, yaitu bagian bawah rumah/
tapak dan tiang penyangga (arö mbatö) melambangkan dunia tempat hidup dewa
perusak yaitu Laturedanö.
Proses
Pembangunan
Proses mendirikan rumah adat dalam
masyarakat Nias adalah salah satu peristiwa besar, karena melalui banyak tahap,
melibatkan banyak orang, dan memakan biaya yang besar. Sejarah mendirikan rumah
dalam masyarakat Nias pada mulanya tidaklah serta merta semegah rumah adat yang
kita ketahui sekarang. Mendirikan rumah mengalami proses evolusi menuju
penyempurnaan secara berangsur-angsur, hingga mengalami bentuk rumah adat Nias yang
kompleks yang kita kenal pada masa sekarang sebagai Omo Niha.
Pendirian rumah adat Nias tidak lepas
dari suatu kelompok masyarakat yang hidup bersama dalam satu tatanan yang
disebut banua. Mendirikan rumah merupakan
kebanggaan seluruh warga, sehingga upaya memajukan pembangunan rumah tersebut
merupakan tanggungjawab warga banua.
Sebelum memulai pembangunan rumah, warga
yang merencanakan pembangunan rumah memberitahukan kepada keluarga besar, pihak
kerabat, pihak paman, kerabat lainnya, dan kepada organisasi adat/ kampung
tempat warga ini bernaung melalui pemimpin banua (fangombakha ba dalifusö ba banua). Dalam acara untuk memberitahukan
rencana pembangunan ini (orahua banua),
warga yang merencanakan pembangunan rumah mengadakan jamuan makan, dengan
menyembelih setidaknya satu ekor babi.
Setelah adanya pemberitahuan kepada
keluarga dan warga, maka dengan dipimpin oleh pemimpin banua (salawa), diputuskanlah lokasi tempat
bangunan dan seluruh warga untuk bergotong royong membersihkan lokasi yang
ditetapkan (Famailo tanö naha nomo).
Dalam acara ini warga yang hendak membangun rumah mengadakan jamuan makan
dengan menyembelih setidaknya satu ekor babi. Setelah itu, lokasi pembangunan
dipatok dengan tali untuk menetapkan letak dan jarak rumah dari titik tengah
halaman (tödö ewali) dan kesesuaianya
dengan rumah-rumah lain yang sudah kian ada. Pada kesempatan ini warga yang
ingin membangun rumah memberikan kewajiban berupa emas kepada Salawa, dan melakukan jamuan makan
dengan memotong setidaknya satu ekor babi.
Warga yang merencanakan pembangunan
rumah memilih dan memanggil tukang atau ahli yang bekerja membangun rumah (tuka/ ere/ sonekhe ba wotomo). Walaupun
ada tukang atau ahli bangunan yang fokus menangani pembangunan rumah, namun
dalam hal pelaksanaan beberapa pekerjaan berat yang membutuhkan tenaga orang
banyak, senantiasa tidak terlepas dari dukungan warga banua secara gotong
royong mendukung pekerjaan pembangunan.
Mempersiapkan kayu untuk bahan
pembangunan rumah, utamanya kayu yang akan digunakan sebagai tiang-tiang utama
rumah (silalöyawa dan tarumbumbu) dilakukan pada hari yang
baik menurut penanggalan suku Nias. Biasanya pada tanggal-tanggal menuju waktu
bulan purnama (desa’a), yakni hari
kedelapan sampai hari kesepuluh menuju bulan purnama. Penebangan kayu dilakukan
dengan ritual penyembahan atau berdoa atau meminta izin kepada roh yang
mendiami pohon (bela) dan kepada roh
nenek moyang. Setelah berdoa, bangsawan yang memimpin ritual memotong satu ekor
anak babi, dan menumpahkan darahnya disekitar pohon. Barulah ritual penebangan
pohon ini secara simbolik dimulai oleh bangsawan yang memimpin ritual, disusul
pihak mertua atau paman, pemilik rumah, dan perwakilan banua.
Setelah menebang pohon, seluruh
rombongan yang bekerja makan bersama, dengan mengorbankan satu ekor babi. Kayu
yang telah ditebang dibersihkan dan digotong bersama-sama ke lokasi
pembangunan. Setiap membawa satu batang kayu tiang dari lokasi pengambilan kayu
ke lokasi pembangunan rumah, disembelihlah setidaknya satu ekor babi sebagai
persembahan kepada roh dan untuk menjamu makan bersama rombongan yang bekerja
menggotong kayu..
Beberapa tahapan utama dalam proses
pembangunan rumah selanjutnya antara lain mendirikan tiang-tiang penyangga,
tiang utama, memasang tiang penyangga bubungan, mendirikan tangga, memasang
kerangka atap, dan merapikan atap.
Setelah rumah selesai dibangun, dilaksanakan pesta besar (owasa) yang disebut ‘owasa famadögö omo’, yaitu menguji
ketahanan rumah. Pesta ini dihadiri oleh segenap keluarga besar, dan warga
kampung. Para tamu yang datang ke pesta melakukan tarian sambil mengoncang-goncangkan
rumah untuk menguji kekuatan rumah yang baru selesai dibangun. Tarian tersebut
diiringi dengan syair-syair tentang asal muasal kayu dan proses pembangunan
rumah. Dalam pesta ini puluhan ekor babi disembelih diperuntukan untuk jamuan
makan bersama, dan sebagai penghormatan (sumange)
yang ditujukan kepada pemimpin kampung (salawa),
warga kampung (banua), kerabat (talifusö), pihak paman (sibaya), mertua (sitenga bö’ö), kerabat perempuan (ono alawe), dan pihak-pihak lain yang dituakan dan dihormati oleh
pemilik rumah.
Nilai
Dari pemaparan di atas dapat ditarik
beberapa makna dan nilai yang tersirat dalam proses pembangunan rumah adat
Nias, antara lain:
1. Tingginya kebanggaan, kerjasama, kerja
keras dan kebersamaan seluruh warga dalam pembangunan rumah di kampungnya,
sehingga semua merasa bertanggungjawab untuk memajukan proses pembangunan.
2. Dari jamuan-jamuan adat dan pemberian
emas dalam proses pembangunan ini, menyiratkan nilai penghormatan kepada
komunitas dan kerabat terlebih lagi orang-orangtua.
3. Ritual-ritual yang dilakukan sebelum
melakukan tahapan demi tahapan pembangunan menyiratkan nilai-nilai spiritual/
religius.
4. Penebangan kayu tidak sembarangan
dilakukan, karena tingginya nilai untuk menghormati keseimbangan alam/ pelestarian
alam.
Permasalahan dan Solusi
a.
Keterbatasan bahan
Untuk membangun rumah adat Nias pada masa sekarang
sangat mengalami kesukaran terutama ketersediaan bahan-bahan bangunan yang
sebagian besar sudah mengalami kelangkaan bahkan kepunahan. Permasalahan
kelangkaan bahan bangunan ini sudah seharusnya menjadi perhatian semua pihak
untuk lebih melestarikan hutan dan menanam pohon khususnya jenis pohon kayu
yang diperlukan untuk pembangunan rumah.
b.
Memerlukan banyak babi dan emas
Setiap tahapan pendirian rumah adat hingga
peresmian, tidak terlepas dari penyembelihan babi untuk menjamu banyak orang dan
pemberian emas. Itulah sebabnya di masa lalu, tidak semua orang Nias mampu
membangun rumah adat. Hanya para bangsawan dan masyarakat yang memiliki
kekayaanlah yang dapat melakukannya. Biaya yang dikeluarkan untuk melalui
tahapan kegiatan adat untuk mendirikan rumah adat, seringkali lebih besar dari
biaya pendirian rumah adat itu sendiri.
Pemotongan babi dan pemberian emas sebaiknya tidak
dihapuskan, bahkan perlu dipertahankan sebagai warisan budaya. Tetapi
kuantitasnya yang dapat dikurangi. Mungkin hal ini tidak menyenangkan bagi
sebagian orang, tapi perlu dipahami pula bahwa walaupun babi itu penting dalam
adat orang Nias, tapi jauh yang lebih penting dari itu adalah nilai yang
terkandung dalam pemberian babi itu sendiri yakni adanya sikap menghormati dan
menghormati semua pihak yang berkepentingan.
c.
Keterpurukan ekonomi
Suatu fenomena bahwa para bangsawan yang dulu
memiliki kekayaan hingga mampu membiayai setiap tahapan proses pembangunan
rumah adat dan melakukan berbagai pesta adat, malah keturunannya pada saat
sekarang terpuruk dalam kemiskinan. Pada zaman dulu nenek moyang mereka begitu
gigih bekerja mengumpulkan kekayaan, dan menganggap penting investasi dan
pendidikan. Kekayaan ini digunakan secara konsumtif untuk membiayai berbagai
pesta adat baik dalam pendirian rumah adat, penabalan gelar kebangsawanan (fa’abalugusa), pesta pernikahan dan
lain-lain.
Bukan hanya di kalangan keturunan para bangsawan,
tetapi masyarakat Nias sudah seharusnya selain membangun kemapanan ekonomi,
sudah saatnya berpikir untuk melakukan investasi, baik di bidang ekonomi maupun
pendidikan, sehingga kesejahteraan dapat berkesinambungan di masa depan.
d.
Rendahnya kesadaran
Sebagian besar masyarakat pemilik rumah adat
terpengaruh mengikuti trend membangun rumah modern yang banyak kita miliki pada
saat sekarang. Rumah adat pun diruntuhkan karena dianggap sudah tidak relevan
dengan zaman atau kuno, dan digantikan dengan rumah modern.
Pertikaian di antara ahli waris pemilik rumah adat
juga menjadi masalah, yakni perebutan hak milik atas rumah adat dan tanah
pertapakan rumah yang diwarisi oleh nenek moyang atau orangtua. Sebagian juga
tidak adanya kesatuan tekad antara saudara bersaudara pewaris rumah adat
tentang biaya pemeliharaan rumah warisan orangtua. Pada kasus ini, beberapa
rumah adat diruntuhkan karena tidak tercapainya kesepakatan dan kebulatan
pemikiran antar pewaris rumah adat.
Beberapa pemilik rumah adat yang masih eksis sampai
pada saat ini, masih tetap mempertahankan kelestarian rumah adat warisan
orangtua, meskipun dengan ekonomi pas-pasan. Menurut mereka hal ini karena di
antara saudara-bersaudara pewaris rumah adat tetap memiliki rasa persatuan (fahasara dödö), tanggungjawab
kesejarahan dan penghormatan terhadap leluhur, sebagian juga memiliki kesadaran
penting adanya rumah adat dilestarikan sebagai warisan kebudayaan yang sangat
bernilai tinggi.
e.
Kurangnya intervensi pemerintah
Intervensi
pemerintah sebagai pihak dengan kekuatan yang lebih besar dari berbagai pihak
yang berkepentingan, dituntut memiliki andil besar dalam merumuskan kebijakan
pelestarian adat baik di tingkat nasional maupun daerah, yang diterjemahkan ke
dalam program dan kegiatan pelestarian rumah adat dalam bentuk pemugaran,
pemeliharaan rutin, dan bahkan bila memungkinkan pembangunan rumah adat dan perkampungan
tradisional baru untuk merekonstruksi kembali kejayaan dan kebanggaan suku Nias
di masa lalu.
Rumah Adat Nias dengan pintu masuk dari samping (sinoro hambo) milik Museum Pusaka Nias |
Kesimpulan
dan Saran
Kepulauan Nias sebagai daerah tujuan
wisata, digerus oleh derasnya laju pembangunan dan perkembangan globalisasi,
lekat dengan prototipe kemajemukan dalam berbagai aspek, dan rentan dengan dampak
negatif modernisasi. Hal ini dapat menjadi ancaman rentannya kohesi sosial
antar anggota masyarakat, memunculkan semangat kelompok dan individualisme.
Semangat baru yang modern menggantikan nilai-nilai kearifan lokal seperti
semangat kebersamaan, gotong royong, semangat solidaritas, sikap penghormatan
dan penghargaan, kehidupan spiritual, kerja keras dan lain-lain nilai-nilai
kebaikan sebagai kearifan lokal yang dapat kita temui dari sejarah kebudayaan
masa lalu. Seharusnya nilai-nilai kearifan lokal ini patut dipertahankan
menjadi kekuatan dan mendarah daging sebagai karakter masyarakat Nias dalam
menghempang dampak negatif dari modernisasi dan globalisasi.
Kebijakan pemerintah di bidang pembangunan
sosial kemasyarakat dan kebudayaan perlu senantiasa dikaji dan di evaluasi,
seberapa efektifkah kebijakan tersebut dapat mempertahankan nilai-nilai
kebudayaan masyarakat Nias sehingga dapat berdampak positif pada pembangunan
sosial kemasyarakatan di Kepulauan Nias. Pelestarian rumah adat Nias menjadi
tanggungjawab bersama seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, non
pemerintah dan masyarakat. Hal ini diharapkan dapat berkesinambungan, baik
secara kuantitas dan kualitas, dan yang tidak kalah penting adalah hendaknya
tidak hanya sebatas orientasi pembangunan fisik saja, tapi harus ada upaya
berkesinambungan menggali dan merumuskan nilai-nilai yang terkandung dalam
rumah adat Nias.
Dalam rangka mewujudkan upaya pelestarian
kebudayaan Nias dalam hal ini rumah adat Nias, maka beberapa hal yang dapat
dirumuskan sebagai saran antara lain sebagai berikut:
1. Pelaksanaan program/ kegiatan
pelestarian rumah adat Nias oleh pemerintah dan non pemerintah secara
berkesinambungan dan secara bertahap menjangkau seluruh rumah adat yang ada di
wilayah Kepulauan Nias, dengan peningkatan kualitas dan peningkatan alokasi
anggaran.
2. Perlu upaya pengkajian nilai-nilai
kebudayaan yang merupakan keariflan lokal yang terkandung dalam rumah adat
Nias, yang dapat diformulasikan sebagai rumusan pembangunan karakter dan sosial
kemasyarakatan di Kepulauan Nias, dengan pelaksanaan seminar, penulisan buku,
brosur, dan melalui metode-metode penyekbarluasan informasi lainnya.
3. Perlu upaya pendekatan sosial oleh
pemerintah dan berbagai stake holder kepada masyarakat pemilik rumah adat Nias,
agar mempertahankan keberadaaan rumah adat yang masih eksis sampai sekarang.
4. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri
dan Menteri Pariwisata Nomor 42 dan 40 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelestarian
Kebudayaan, yang utamanya menekankan kewajiban pemerintah untuk melakukan
upaya-upaya pelestarian kebudayaan daerah, maka perlu disusun rancangan
peraturan daerah oleh setiap kabupaten/ kota di Kepulauan Nias tentang
pelestarian kebudayaan daerah yang di dalamnya mengatur tentang pelestarian
rumah adat Nias.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar