Oleh : Kurniawan Harefa, SS
Tulisan Ini Telah Dipublikasi dan Hak Cipta oleh Nias Bangkit.COM.
Baca melalui Nias Bangkit.COM disini
Tulisan Ini Telah Dipublikasi dan Hak Cipta oleh Nias Bangkit.COM.
Baca melalui Nias Bangkit.COM disini
"Ni'obowo Zofozofo" simbol melambangkan kekuasaan dalam kebudayaan Nias |
Pertarungan
Kekuasaan
Salah satu cerita rakyat Nias yang
menarik untuk dianalisa adalah hikayat pertarungan kekuasaan di Tetehöli Ana’a,
yang disadur oleh penulis dari buku Jejak Cerita Rakyat Nias (Viktor
Zebua:2010) Cerita ini juga merupakan salah satu versi cerita asal-usul suku
Nias berdasarkan mitologi. Sebagaimana hampir semua suku-suku yang mendiami
daratan Sumatera Utara, yang menganggap nenek moyangnya berasal dari langit.
Demikian halnya berdasarkan mitologi suku Nias, ada anggapan bahwa nenek moyang
suku Nias diturunkan dari dunia atas yang disebut “Tetehöli Ana’a”, para leluhur melalui proses diturunkan (ladada)
di tanah Nias.
Dalam mite ini, Sirao raja di Tetehöli
Ana’a memiliki tiga istri. Istri pertama Buruti
Rao Awe Zihönö, melahirkan tiga putra yakni Ba’uwadanö Hia, Lakindrölai
Sitambaliuö, dan Balugu Luo Mewöna.
Istri kedua Nawaöndru Ere Gowasa,
melahirkan tiga putra Lasoragae
Sitöludaha, Gözö Tuha Zangaröfa,
dan Hia Walangi Adu. Istri ketiga Ziadulo Rao Ana’a, melahirkan tiga putra
yakni Gözö Helahela Danö, Daeli Bagambölö Langi, Hulu Börö Zebua, dan seorang putri yakni
Balisariya Ana’a. Anak Sirao
seluruhnya sembilan putra dan seorang putri.
Ilustrasi Kerajaan di Langit |
Ketika terjadi perebutan kekuasaan (famadöni taroma) di antara para
putranya, hati Sirao gundah nestapa. Dia mengundang seluruh penghuni Tetehöli
Ana’a. Setelah undangan berkumpul, Sirao mengambil tombak (burusa). Dia
memancangkan tombak itu di halaman istana. Kemudian Sirao berkata kepada para
putranya, bahwa barangsiapa yang mampu berdiri atas mata tombak seperti seekor
burung dan tidak jatuh ke tanah, maka dialah yang akan menjadi pengganti raja
di Tetehöli Ana’a.
Sayembarapun dimulai, singkat cerita
satu persatu putra-putra Raja Sirao mencoba naik ke atas mata tombak, namun
kesemuanya gagal. Kecuali Balugu Luo Mewöna mendapat giliran paling akhir.
Sebelum menunju tombak yang terpancang, dia pamit pada ayahnya, ibunya,
pamannya, kerabatnya, semua orang, segala benda dan makhluk yang ada di
Tetehöli Ana’a. Lalu dia melompat ke mata tombak. Dia menari bagai burung elang
selama setengah hari, hingga petang. Balugu Luo Mewöna memenangkan perlombaan
itu, dan menjadi raja di Tetehöli Ana’a.
Untuk menjaga agar perebutan kekuasaan
jangan terulang lagi, Raja Sirao menurunkan para putranya ke bumi tingkat
paling akhir, yakni Tanö Niha.
Ba’uwadanö Hia diturunkan ke dalam pusat bumi untuk memikul bumi. Lakindrölai
Sitambaliuö tidak diturunkan, dia ditugaskan mengawal halaman istana Tetehöli
Ana’a. Lasorogae Sitöludaha diturunkan ke bumi untuk memikul bumi. Ketika Gözö
Tuha Zangaröfa diturunkan, dia jatuh ke laut sehingga menjadi penguasa laut.
Saat Hia diturunkan, dia memohon
kepada Sirao agar dibekali istana, berbagai ragam peralatan, perhiasan, patung,
bibit tanaman, dan binatang. Ketika ia tiba di bumi (Gunung Mazingö), karena
barang-barangnya banyak dan berat, miringlah bumi bagai sayap elang. Kemudian
diturunkan Gözö Helahela Danö, namun bumi belum cukup rata, sehingga diturunkan
Hulu Börö Zebua di daerah Muzöi, namun bumi membungkuk bagai atap istana. Lalu
diturunkan Daeli Sanau Talinga di Laraga, barulah bumi rata bagi tikar. Setelah
itu, pada suatu hari diturunkan cucu Balugu Luo Mewöna bernama Balugu Silögu Mbanua, di dataran Oyo.
Konvensi
Calon Pemimpin
Balugu
Sirao cukup bijak dalam menyelenggarakan suksesi kekuasaan di kerajaannya. Lazimnya
sebuah pemerintahan yang menganut sistem kerajaan seperti Kerajaan Britania
Raya, maka yang diberikan kedudukan sebagai putra mahkota adalah putra sulung. Namun,
apa yang terjadi di Tetehöli Ana’a bukanlah seperti itu, melainkan sebuah
konvensi calon penguasa, sebagaimana konvensi calon presiden yang
diselenggarakan oleh partai-partai pada masa sekarang. Sayembara yang
diselenggarakan oleh Balugu Sirao ini ibarat konvensi calon raja untuk menguji
kelayakan dan kepatutan calon putra mahkota. Yang diundang pada konvensi ini
adalah potensi-potensi pemimpin, yakni putra-putra Raja Sirao sendiri. Hal ini
menyiratkan pesan kepada para pemimpin, dalam memposisikan seseorang pada
jabatan senantiasa dengan melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), apakah calon
pemimpin yang dipersiapkan memiliki kemampuan sebagai pemimpin, tidak
sebaliknya asal pilih, tidak karena “ilmu
pendekatan” dan gratifikasi.
Taat
Asas
Para
peserta konvensi yakni putra-putra Raja Sirao, taat asas terhadap rule of play and rule of game yang
ditetapkan oleh penyelenggara konvensi yakni aturan sayembara yang ditetapkan
oleh Sirao. Tidak ada upaya kudeta atau mengacaukan proses suksesi
kepemimpinan. Bahkan di kemudian hari para peserta sayembara yang kalah patuh mengikuti
proses diturunkan (ladada) dari
Tetehöli Ana’a untuk menjaga tidak terulangnya lagi perebutan kekuasaan. Dari
sini terlihat adanya kedewasaan dan kemapanan berpolitik para negarawan di
Tetehöli Ana’a. Dewasa ini di berbagai negara di dunia, terjadi chaos atau kekacauan sosial akibat
kudeta dan perebutan kekuasaan. Masih lekat dalam ingatan kita kudeta yang
terakhir terjadi di Myanmar, Pakistan, Thailand, dan terakhir di Mesir, yang
tujuannya menyingkirkan pemimpin hasil pemilihan umum, dan merebut kekuasaan
secara paksa. Kudeta ini diikuti dengan kekacauan sosial seperti demonstrasi
yang mengakibatkan jatuh korban jiwa, penangkapan para demonstran, dan kacaunya
perekonomian.
Pemimpin
Yang Amanah
Balugu
Luo Mewöna sebagai pemenang konvensi dan berhak mendapatkan kedudukan sebagai
putra mahkota, adalah sosok yang bijaksana dan teladan dalam cerita ini, bahkan
beliau adalah sosok yang begitu menarik dalam cerita ini. Luo Mewöna sebelum
mengikuti kompetisi kekuasaan meminta restu (amanah) semua pihak yang ada di
Tetehöli Ana’a. Beliau meminta restu orangtua dan kerabat yang dapat
direpresentasikan sebagai publik, juga meminta restu semua benda-benda baik
makhluk hidup maupun benda mati yang dapat dipersonifikasi sebagai penghormatan
kepada lingkungan atau alam sekitarnya. Setelah memperoleh restu atau amanah,
barulah Luo Mewöna maju ke arena pertarungan. Pemimpin seperti ini bukanlah
pemimpin yang haus akan kekuasaan, tapi pemimpin yang amanah, amanah itu
diperoleh dari rakyat dan alam. Di sekitar kita banyak calon pemimpin yang
tidak menjalin hubungan bathin dengan rakyatnya, tidak peka dengan realita di
sekitarnya. Dalam era demokrasi saat ini, sudah seharusnya para calon pemimpin
sebelum bertarung, turun kepada rakyat dan melihat realita sekitarnya.
Membangun
Dunia Baru
Sosok
lain yang menarik dari antara para putra Sirao ini adalah Hia Walangi Adu, di antara para putra Sirao yang diturunkan ke bumi
Nias, Hia diturunkan paling akhir. Sebelum diturunkan, Hia meminta
diperlengkapi dengan istana atau rumah (Omo)
lengkap dengan segala kelengkapannya, segala jenis ternak dan tanaman, segala
jenis alat ukur, peralatan kerja, dan lain-lain sebagai modal baginya memulai
kehidupan di bumi yang baru akan dipijakkannya. Dalam konteks kekinian, Hia
merepresentasikan sosok yang keluar dari arena pertarungan kekuasaan dan
memulai sebuah dunia baru. Tidak jarang kita temui dewasa ini, pemimpin yang
kalah dalam kompetisi kekuasaan terus berkutat dalam arena pertarungan, bahkan
turut mengacaukan situasi. Tanpa bermaksud tendesius kepada salah satu tokoh
politik di negeri ini, tapi penulis menaruh simpati kepada mantan wakil
presiden RI periode 2004-2009, calon presiden RI yang kalah pada pemilu 2009,
Yusuf Kalla mempraktekan sikap politik yang serupa sosok Hia. Kalah pada
suksesi Presiden RI tahun 2009, Kalla tetap berkarya untuk bangsa. Saat ini
Kalla menjabat sebagai Ketua Palang Merah Indonesia, duta Indonesia untuk komodo
sebagai tujuh keajaiban dunia (seven new
world wonders), bahkan terpilih aklamasi sebagai Ketua Asosiasi
Negara-Negara Asia Pasifik selama dua kali periode. Kalla tidak berkutat pada
kekuasaan seperti partai, beliau keluar dari lingkaran kekuasaan dan membangun
dunia baru yang lebih efektif membangun citra bangsa Indonesia di mata dunia. Di
Amerika Serikat, beberapa mantan presiden tetap berkiprah pasca
kepemimpinannya. Jimmy Carter memimpin organisasi internasional untuk
perdamaian, Bill Clinton menjadi penulis buku best seller, dan utusan khusus presiden untuk perdamaian.
Penutup
Cerita rakyat Nias ini memberi
pesan moral kepada para pemimpin, calon pemimpin dan ex pemimpin dalam konteks kekinian. Tidak lama lagi, Indonesia akan
menyelenggarakan event “pertarungan kekuasaan”, pesta demokrasi/ pemilu tahun
2014 yang akan memilih presiden dan wakil presiden, anggota MPR/ DPR/ DPD RI,
DPRD provinsi dan kabupaten/ kota. Singkatnya memilih para calon pemimpin
negeri ini. Apakah mereka sudah layak dan pantas? Ataukah hanya sebatas
memuaskan nafsu kekuasaan? Sudahkah mereka menyatu dengan persoalan rakyat?
Atau hanya sebatas mengumbar kamuflase melalui baliho dan spanduk? KITA BUTUH PEMIMPIN YANG KUAT DAN AMANAH.
Daftar Pustaka:
Zebua, Viktor (2010), Jejak Cerita Rakyat Nias,
Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar