Kamis, 17 Juli 2014

PESAN MORAL DI BALIK “PERTARUNGAN KEKUASAAN” (ANALISA KARYA SASTRA)



Oleh : Kurniawan Harefa, SS
Tulisan Ini Telah Dipublikasi dan Hak Cipta oleh Nias Bangkit.COM.
Baca melalui Nias Bangkit.COM disini
"Ni'obowo Zofozofo" simbol melambangkan kekuasaan dalam kebudayaan Nias

Cerita rakyat adalah legenda atau hikayat pada masa lampau yang merupakan kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki suatu bangsa. Suku bangsa Nias kaya akan cerita rakyat yang bila dianalisa mengandung pesan moral yang relevan dengan konteks kekinian. Walaupun dari sisi ilmu pengetahuan modern cerita rakyat seperti legenda atau mite tidak berterima secara logika, namun dari sisi kesusastraan, jalan cerita merupakan bahan diskusi yang cukup ilmiah untuk dibedah dari berbagai sudut pandang. Kita patut berterimakasih kepada para budayawan Nias yang telah menulis berbagai cerita rakyat Nias yang bersumber dari tradisi lisan Nias yang disebut ho ho, sehingga generasi Nias zaman sekarang dapat mewarisinya.
Pertarungan Kekuasaan
Salah satu cerita rakyat Nias yang menarik untuk dianalisa adalah hikayat pertarungan kekuasaan di Tetehöli Ana’a, yang disadur oleh penulis dari buku Jejak Cerita Rakyat Nias (Viktor Zebua:2010) Cerita ini juga merupakan salah satu versi cerita asal-usul suku Nias berdasarkan mitologi. Sebagaimana hampir semua suku-suku yang mendiami daratan Sumatera Utara, yang menganggap nenek moyangnya berasal dari langit. Demikian halnya berdasarkan mitologi suku Nias, ada anggapan bahwa nenek moyang suku Nias diturunkan dari dunia atas yang disebut “Tetehöli Ana’a”, para leluhur melalui proses diturunkan (ladada) di tanah Nias.
Dalam mite ini, Sirao raja di Tetehöli Ana’a memiliki tiga istri. Istri pertama Buruti Rao Awe Zihönö, melahirkan tiga putra yakni Ba’uwadanö Hia, Lakindrölai Sitambaliuö, dan Balugu Luo Mewöna. Istri kedua Nawaöndru Ere Gowasa, melahirkan tiga putra Lasoragae Sitöludaha, Gözö Tuha Zangaröfa, dan Hia Walangi Adu. Istri ketiga Ziadulo Rao Ana’a, melahirkan tiga putra yakni Gözö Helahela Danö, Daeli Bagambölö Langi, Hulu Börö Zebua, dan seorang putri yakni Balisariya Ana’a. Anak Sirao seluruhnya sembilan putra dan seorang putri. 
Ilustrasi Kerajaan di Langit
Ketika terjadi perebutan kekuasaan (famadöni taroma) di antara para putranya, hati Sirao gundah nestapa. Dia mengundang seluruh penghuni Tetehöli Ana’a. Setelah undangan berkumpul, Sirao mengambil tombak (burusa). Dia memancangkan tombak itu di halaman istana. Kemudian Sirao berkata kepada para putranya, bahwa barangsiapa yang mampu berdiri atas mata tombak seperti seekor burung dan tidak jatuh ke tanah, maka dialah yang akan menjadi pengganti raja di Tetehöli Ana’a.
Sayembarapun dimulai, singkat cerita satu persatu putra-putra Raja Sirao mencoba naik ke atas mata tombak, namun kesemuanya gagal. Kecuali Balugu Luo Mewöna mendapat giliran paling akhir. Sebelum menunju tombak yang terpancang, dia pamit pada ayahnya, ibunya, pamannya, kerabatnya, semua orang, segala benda dan makhluk yang ada di Tetehöli Ana’a. Lalu dia melompat ke mata tombak. Dia menari bagai burung elang selama setengah hari, hingga petang. Balugu Luo Mewöna memenangkan perlombaan itu, dan menjadi raja di Tetehöli Ana’a.
Untuk menjaga agar perebutan kekuasaan jangan terulang lagi, Raja Sirao menurunkan para putranya ke bumi tingkat paling akhir, yakni Tanö Niha. Ba’uwadanö Hia diturunkan ke dalam pusat bumi untuk memikul bumi. Lakindrölai Sitambaliuö tidak diturunkan, dia ditugaskan mengawal halaman istana Tetehöli Ana’a. Lasorogae Sitöludaha diturunkan ke bumi untuk memikul bumi. Ketika Gözö Tuha Zangaröfa diturunkan, dia jatuh ke laut sehingga menjadi penguasa laut.
Saat Hia diturunkan, dia memohon kepada Sirao agar dibekali istana, berbagai ragam peralatan, perhiasan, patung, bibit tanaman, dan binatang. Ketika ia tiba di bumi (Gunung Mazingö), karena barang-barangnya banyak dan berat, miringlah bumi bagai sayap elang. Kemudian diturunkan Gözö Helahela Danö, namun bumi belum cukup rata, sehingga diturunkan Hulu Börö Zebua di daerah Muzöi, namun bumi membungkuk bagai atap istana. Lalu diturunkan Daeli Sanau Talinga di Laraga, barulah bumi rata bagi tikar. Setelah itu, pada suatu hari diturunkan cucu Balugu Luo Mewöna  bernama Balugu Silögu Mbanua, di dataran Oyo.
Konvensi Calon Pemimpin
Balugu Sirao cukup bijak dalam menyelenggarakan suksesi kekuasaan di kerajaannya. Lazimnya sebuah pemerintahan yang menganut sistem kerajaan seperti Kerajaan Britania Raya, maka yang diberikan kedudukan sebagai putra mahkota adalah putra sulung. Namun, apa yang terjadi di Tetehöli Ana’a bukanlah seperti itu, melainkan sebuah konvensi calon penguasa, sebagaimana konvensi calon presiden yang diselenggarakan oleh partai-partai pada masa sekarang. Sayembara yang diselenggarakan oleh Balugu Sirao ini ibarat konvensi calon raja untuk menguji kelayakan dan kepatutan calon putra mahkota. Yang diundang pada konvensi ini adalah potensi-potensi pemimpin, yakni putra-putra Raja Sirao sendiri. Hal ini menyiratkan pesan kepada para pemimpin, dalam memposisikan seseorang pada jabatan senantiasa dengan melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), apakah calon pemimpin yang dipersiapkan memiliki kemampuan sebagai pemimpin, tidak sebaliknya asal pilih, tidak karena “ilmu pendekatan” dan gratifikasi.
Taat Asas
Para peserta konvensi yakni putra-putra Raja Sirao, taat asas terhadap rule of play and rule of game yang ditetapkan oleh penyelenggara konvensi yakni aturan sayembara yang ditetapkan oleh Sirao. Tidak ada upaya kudeta atau mengacaukan proses suksesi kepemimpinan. Bahkan di kemudian hari para peserta sayembara yang kalah patuh mengikuti proses diturunkan (ladada) dari Tetehöli Ana’a untuk menjaga tidak terulangnya lagi perebutan kekuasaan. Dari sini terlihat adanya kedewasaan dan kemapanan berpolitik para negarawan di Tetehöli Ana’a. Dewasa ini di berbagai negara di dunia, terjadi chaos atau kekacauan sosial akibat kudeta dan perebutan kekuasaan. Masih lekat dalam ingatan kita kudeta yang terakhir terjadi di Myanmar, Pakistan, Thailand, dan terakhir di Mesir, yang tujuannya menyingkirkan pemimpin hasil pemilihan umum, dan merebut kekuasaan secara paksa. Kudeta ini diikuti dengan kekacauan sosial seperti demonstrasi yang mengakibatkan jatuh korban jiwa, penangkapan para demonstran, dan kacaunya perekonomian.
Pemimpin Yang Amanah
Balugu Luo Mewöna sebagai pemenang konvensi dan berhak mendapatkan kedudukan sebagai putra mahkota, adalah sosok yang bijaksana dan teladan dalam cerita ini, bahkan beliau adalah sosok yang begitu menarik dalam cerita ini. Luo Mewöna sebelum mengikuti kompetisi kekuasaan meminta restu (amanah) semua pihak yang ada di Tetehöli Ana’a. Beliau meminta restu orangtua dan kerabat yang dapat direpresentasikan sebagai publik, juga meminta restu semua benda-benda baik makhluk hidup maupun benda mati yang dapat dipersonifikasi sebagai penghormatan kepada lingkungan atau alam sekitarnya. Setelah memperoleh restu atau amanah, barulah Luo Mewöna maju ke arena pertarungan. Pemimpin seperti ini bukanlah pemimpin yang haus akan kekuasaan, tapi pemimpin yang amanah, amanah itu diperoleh dari rakyat dan alam. Di sekitar kita banyak calon pemimpin yang tidak menjalin hubungan bathin dengan rakyatnya, tidak peka dengan realita di sekitarnya. Dalam era demokrasi saat ini, sudah seharusnya para calon pemimpin sebelum bertarung, turun kepada rakyat dan melihat realita sekitarnya.
Membangun Dunia Baru
Sosok lain yang menarik dari antara para putra Sirao ini adalah Hia Walangi Adu, di antara para putra Sirao yang diturunkan ke bumi Nias, Hia diturunkan paling akhir. Sebelum diturunkan, Hia meminta diperlengkapi dengan istana atau rumah (Omo) lengkap dengan segala kelengkapannya, segala jenis ternak dan tanaman, segala jenis alat ukur, peralatan kerja, dan lain-lain sebagai modal baginya memulai kehidupan di bumi yang baru akan dipijakkannya. Dalam konteks kekinian, Hia merepresentasikan sosok yang keluar dari arena pertarungan kekuasaan dan memulai sebuah dunia baru. Tidak jarang kita temui dewasa ini, pemimpin yang kalah dalam kompetisi kekuasaan terus berkutat dalam arena pertarungan, bahkan turut mengacaukan situasi. Tanpa bermaksud tendesius kepada salah satu tokoh politik di negeri ini, tapi penulis menaruh simpati kepada mantan wakil presiden RI periode 2004-2009, calon presiden RI yang kalah pada pemilu 2009, Yusuf Kalla mempraktekan sikap politik yang serupa sosok Hia. Kalah pada suksesi Presiden RI tahun 2009, Kalla tetap berkarya untuk bangsa. Saat ini Kalla menjabat sebagai Ketua Palang Merah Indonesia, duta Indonesia untuk komodo sebagai tujuh keajaiban dunia (seven new world wonders), bahkan terpilih aklamasi sebagai Ketua Asosiasi Negara-Negara Asia Pasifik selama dua kali periode. Kalla tidak berkutat pada kekuasaan seperti partai, beliau keluar dari lingkaran kekuasaan dan membangun dunia baru yang lebih efektif membangun citra bangsa Indonesia di mata dunia. Di Amerika Serikat, beberapa mantan presiden tetap berkiprah pasca kepemimpinannya. Jimmy Carter memimpin organisasi internasional untuk perdamaian, Bill Clinton menjadi penulis buku best seller, dan utusan khusus presiden untuk perdamaian.
Penutup
Cerita rakyat Nias ini memberi pesan moral kepada para pemimpin, calon pemimpin dan ex pemimpin dalam konteks kekinian. Tidak lama lagi, Indonesia akan menyelenggarakan event “pertarungan kekuasaan”, pesta demokrasi/ pemilu tahun 2014 yang akan memilih presiden dan wakil presiden, anggota MPR/ DPR/ DPD RI, DPRD provinsi dan kabupaten/ kota. Singkatnya memilih para calon pemimpin negeri ini. Apakah mereka sudah layak dan pantas? Ataukah hanya sebatas memuaskan nafsu kekuasaan? Sudahkah mereka menyatu dengan persoalan rakyat? Atau hanya sebatas mengumbar kamuflase melalui baliho dan spanduk? KITA BUTUH PEMIMPIN YANG KUAT DAN AMANAH.   
Daftar Pustaka:
Zebua, Viktor (2010), Jejak Cerita Rakyat Nias, Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar: